Selasa, 12 Mei 2009

Pengalaman Komunikasi Lintas Budaya

Pengalaman merupakan guru yang utama, mungkin ungkapan ini memang sesuai dengan kenyataan yang sering terjadi disekeliling kita. Dengan adanya pengalaman kita menjadi paham dan mau belajar tentang sesuatu. Begitu juga saat berinteraksi dengan orang lain yang berasal dari budaya yang berbeda. Pengalaman ini pula yang pernah mewarnai perjalanan hidup saya hingga saat ini. Kisah dan pengalaman ini berawal pada tahun 2007 silam, dimana pada saat itu saya yang berasal dari salah satu daerah pedesaan di Bali, tepatnya di desa Tengkulak Kaja, Sukawati, Gianyar memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jakarta setelah lulus dari sekolah menengah atas. Berbekal ijasah SMA dan doa dari kedua orang tua, saya kemudian berangkat dari Bali dan meninggalkan kampong halaman tercinta demi mengejar dan meraih cita-cita di Jakarta. Setibanya di Jakarta saya tinggal bersama dengan saudara yang kebetulan sudah bertahun-tahun menetap di daerah Tangerang.

Akhirnya perkuliahan hari pertama pun dimulai, saya tercatat sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur angkatan 2007. sebenarnya ada yang salah dengan fakultas dimana nama saya terdaftar sebagai mahasiswa disana, sebab pada awalnya dari dulu saya menginginkan melanjutkan kuliah di bidang computer atau FTI. Setelah didaftarkan oleh saudara, saya benar-benar tidak tahu bahwa saya bukanlah terdaftar sebagai mahasiswa FTI, namun sebagai mahasiswa FIKOM. Tentu saja hal ini membuat saya kecewa dan bingung, maklim saya di Jakarta baru 3 hari menjelang perkuliahan dimulai. Jadi saya tidak tahu prosedur pendaftarannya dan ospek pun saya tidak ikut. Tapi dari situ saya mulai menerima dan berusaha menjalani apa yang sudah terjadi. Pada akhirnya sayapun bertemu dengan mahasiswa lain yang menurut saya sedikit berbeda, dari segi penampilan, gaya bahasa dan wajah-wajah yang lain, mungkin hal ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan social diantara kami. Awalnya terasa agak gugup dan ragu, karena baru kali ini saya membaur dengan orang Jawa, Sunda, Batak, Betawi, Padang, Makasar, dan lain sebagainya. Secara umum saya belum terbiasa beradaptasi dengan mereka. Disini saya benar-benar merasakan keanekaragaman yang membaur menjadi satu, seakan-akan Indonesia telah saya jelajahi hanya dalam waktu satu hari saja. Wah, menakjubkan, itulah perasaan yang tersirat dibenak saya. Seiring dengan berjalannya waktu, interaksi diantara kami sudah semakin terbiasa dan tidak terasa canggung lagi seperti hari pertama berkenalan. Namun, terlepas dari semua itu, saya sangat bersyukur atas semua ini, bias merasakan kebersamaan dalam perbedaan. Tapi, bukan berarti perjalanan dan alur pertemanan diantara kami benar-benar bebas dari hambatan-hambatan. Banyak sekali halangan atau hambatan yang mewarnai keseharian kami di kampus. Hal ini wajar mengingat kami merupakan perkumpulan dari berbagi orang dengan budaya yang berbeda. Dalam sebuah komunikasi lintas budaya, atau komunikasi yang melibatkan berbagai orang dari kalangan dan budaya yang berbeda menyadari bahwa hambatan-hambatan itu terjadi karena adanya perbedaan budaya tadi, seperti bahasa, gaya bicara, agama, ras, suku, hingga sering kali muncul sikap etnosentrisme yang tinggi. Hal ini bersumber dari unsur kebudayaan yang memiliki pandangan hidup yang berbeda dimasing-masing daerah, maupun system kepercayaannya.

Awalnya saya tidak bisa memahami hal tersebut, sehingga perbedaan diantara kami menjadi pon utama penyebab timbulnya kaomunikasi yang terhambat, namun masih dalam kadar yang kecil tanpa menimbulkan atau memicu konflik. Perbedaan ini masih dapat diatasi dengan sikap keterbukaan, sikap menghargai dan percaya serta selalu berfikir positif kepada siapa saja. Mampu menempatkan diri dalam tekanan antar budaya dan mampu menjalin relasi dengan orang sekitar. Pada akhirnya semua itu dapat teratasi dan berjalan dengan lancar. Hubungan dan komunikasi yang terjalin diantara kami semakin baik, bahkan rasa saling memiliki sudah mulai tumbuh seiring kebersamaan yang selalu kami bangun dan kembangkan. Seakan-akan latar belakang budaya yang berbeda tidak nampak dalam keseharian kami. Satu setengah tahun perjalanan saya di Jakarta, semua sesuai dengan rencana dan harapan. Punya sahabat yang banyak, kuliah yang lancar serta pengalaman hidup yang beragam. Namun, mulai dari sinilah saya benar-benar merasakan bahwa perbedaan budaya ternyata mempunyai potensi besar memicu konflik. Aneh memang, setelah sekian tahun berada di lingkungan yang multi etnik. Awalnya saya ditawarkan untuk tinggal disalah satu rumah teman saya dia daerah Jakarta. Karena memang pada saat itu saya lagi membutuhkan tempat tinggal, maka saya terima ajakannya untuk sementara waktu tinggal dirumahnya. Saat itu saya sudah tidak tinggal lagi dengan saudara karena alasan klasik, yaitu ingin merasakan hidup mandiri tanpa pengawasan dari keluarga. Awalnya semua berjalan dengan biasa, semua anggota keluargany menerima saya dengan tangan terbuka. Keluarga ini terdiri dari Ibu teman saya, kakak laki-lakinya, istri dari kakaknya serta sepupunya. Hari-hari yang saya rasakan sangat menyenagkan, bias berkumpul dengan keluarga yang dipenuhi keanekaragaman. Meski dalam satu keluarga, nampak sangat jelas bahwa budaya mereka tidak sama. Bagaimana tidak, Ibu teman saya asli Jawa, tepatnya didaerah Semarang, sedangkan suaminya berasal dari suatu daerah di Sulawesi, istri kakak teman saya adalah orang Sunda kelahiran Bekasi, dan sepupunya asli dari Bandung. Keberagaman kepercayaan juga mewarnai keluarga ini, dua anggota keluarga yaitu Ibu dan teman saya beragama Kristen, kakak dan istri kakaknya serta sepupunya beragama Islam, dan saya beragama Hindu. Intinya dalam sebuah rumah benar-benar terasa sebuah keberagaman yang harmonis dan serasi. Sayapun sudah bias terbiasa dengan hal ini, sebab sebelumya saya sudah pernah mempunyai pengalaman berbaur dengan orang-orang dari budaya berbeda.

Namun, disitulah letak kekeliruan saya. Ternyata pengalaman yang saya dapat selama ini belum cukup mampu saya jadikan pedoman dasar untuk memahami budaya orang lain. Terbukti setelah 3 bulan saya menetap dirumah itu, mulai ada api-api kecil yang memicu konflik diantara kami. Mulai dari rasa salah paham, kecurigaan dan lain sebagainya. Terutama hubungan dengan teman saya menjadi tidak harmonis. Hal ini tentu saja membuat saya merasa bingung dan haraus bertindak seperti apa untuk segera menyelaesaikan permasalahan ini. Bayangkan saja, tinggal dirumah orang namun orang tersebut bersikap dingin terhadap kita, tentunya perasaan menjadi korban utama dalam kasus ini. Semuanya tidak terlepas dari sikap teman saya yang sedikit diluar kewajaran, yang saya tahu bahwa dia adalah keturunan orang Jawa. Biasanya orang Jawa yang saya tahu memiliki sifat yang ramah, lembut, tenag, sopan dan memiliki gaya bicara yang khas. Namun sifat-sifat diatas tidak saya temukan pada diri teman saya, bahkan sebaliknya, ia selalu bersikap cuek, arogan, mudah mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan orang serta bertingkah layaknya anak kecil. Ia sama sekali tidak peduli denga perasaan orang lain. Ini pula yang sebenarnya selalu dikeluhkan oleh beberapa teman saya yang lainnya dikampus. Mungkin karena merasa saya tinggal dan numpang dirumahnya, sehingga dia bias berbuat seenaknya terhadap saya, sama sekali tidak mau menghargai perasaan saya. Namun saya tetap diam, berusaha menunjukkan rasa hormat saya sebagai tamu yang berutang budi. Walaupun pada dasarnya saya sebagai manusia biasa pastinya pernah melakukan kesalahan-kesalahan yang mungkin membuat teman saya merasa tidak nyaman, karena sekali lagi perbedaan budaya diantara kami yang menjadi juarang pemisah. Hal yang biasa saya lakukan belum tentu biasa bagi dia. Saya menyadari hal itu, dan atas dasar itu pula saya berusaha mencari solusi dari permasalahan ini kesadaran diri masing –masing menjadi faktor penting dalam menyelesaikan masalah ini. Dengan rasa kesadaran yang tinggi saya berusaha memahami bahwa perbedaan itu tidak selalu berdampak buruk. Selain itu keterampilan dalam berkomunikasi dengan orang juga menentukan keefektivan interaksi atau hubungan.

Namun pada akhirnya saya merenung dan menemukan solusi yang saya rasa bisa diterapkan guna menyelesaikan masalah ini adalah mengasah kemampuan kita untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana kita tinggal. Pada intinya semua pengalaman yang pernah saya alami dengan orang yang berbeda budaya, menjadi cerminan dan acuan saya dalam menjalin hubungan yang lebih baik kepada orang lain, sehingga nantinya apa yang menjadi harapan dan cita – cita saya dapat terwujud. Karena ada kalanya kita membutuhkan bantuan orang lain untuk mewujudkan semua itu. Maka mulai sekarang berusahalah membangun relasi yang baik dan kembangkan kemampuan berkomunikasi yang efektiv.

2 komentar:

  1. mkasih tulisannya, salam kenal :)

    BalasHapus
  2. saat ini saya juga lagi mengembangkan blog yang menulis pengalaman lintas budaya. Saya akan senang jika bli juga menulis di blog saya. dalam waktu dekat saya akan menulis artikel mengenai kawan saya orang bali yang menukah dengan orang aceh. mereka sangat harmoni dan saya banyak terinspirasi dari mereka.

    BalasHapus